Jakarta (NetKepri) – Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar pahlawan kepada empat tokoh Indonesia di Istana Negara, Kamis (5/11/2017). Keempat tokoh itu adalah almarhum TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Provinsi Nusa Tenggara Barat, almarhumah Laksamana Malahayati (Aceh), almarhum Sultan Mahmud Riayat Syah (Kepulauan Riau), dan almarhum Lafran Pane (DI Yogyakarta).
Khusus tentang sosok Lafran Pane, mantan Ketua Komisariat dan Ketua PB HMI, Baharuddin Aritonang punya kenangan khusus. Ia menilai adik bungsu sastrawan Sanusi Pane dan Armijn Pane itu sebagai figur yang rendah hati dan tidak suka menonjolkan diri, jujur, dan sederhana yang dilaksanakan secara konsisten. Tapi di sisi lain, dia juga punya visi kenegaraan jauh ke depan.
“Saya berasal dari kampung yang sama di Sipirok. Semasa kuliah di UGM, saya sering berkunjung dan berdiskusi di perumahan IKIP Yogyakarta (kini menjadi Universitas Negeri Yogyakarta),” tutur Baharuddin kepada detikcom, Kamis (9/11/2017) petang.
Rumahnya di Karangmalang, dia melanjutkan, merupakan rumah dinas yang tidak memiliki saluran telepon. Sampai akhir hayatnya, Lafran tidak memiliki rumah pribadi. Termasuk, setelah diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung yang diperjuangkan oleh Akbar Tandjung.
Ke mana-mana, mantan anggota BPK ini melanjutkan, Lafran selalu naik sepeda. Baharuddin mengenang, suatu hari dirinya berpapasan dengan Lafran di Bulaksumur, kampus UGM, seusai memberi kuliah di Fakultas Sospol. “Kami sama-sama berhenti di pinggir jalan untuk sekadar bertegur sapa,” ujarnya.
Ketika pada suatu waktu para alumni HMI yang sudah berhasil di Jakarta ingin membelikan rumah dengan isinya serta mobil sebagai kendaraan sehari-hari, “Pak Lafran menolaknya secara halus,” kata Baharuddin.
Terkait visi kenegaraannya, dia mencontohkan, ide Lafran yang dikemukakan pada awal 1970. Tepatnya saat dia dikukuhan menjadi guru besar Tata Negara di IKIP Yogyakarta, dalam pidatonya Lafran Pane menegaskan pentingnya segenap anggota MPR itu dipilih langsung. Demikian juga Presiden, perlu dipilih langsung oleh rakyat, jika memang kita memilih sistem presidensial.
“Tapi beliau mewanti-wanti agar terkait perubahan konstitusi tersebut (amandemen) tak menyentuh Pembukaan UUD 1945 karena didalamnya memuat enam prinsip dasar,” kata Baharuddin yang juga doktor Ilmu Hukum dan merupakan anggota Lembaga Pengkajian MPR (2015-2019). (Admin)
Sumber : https://news.detik.com