Jakarta (NetKepri) – Korupsi dan penyelenggaraan negara merupakan dua hal yang memang sulit dipisahkan seperti dua sisi mata uang. Kasus-kasus korupsi besar yang berhasil diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperlihatkan betapa kasus korupsi sudah sangat menggurita dan sistemik di negara Indonesia tercinta ini.
Lagi-lagi, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Walikota Tegal, atas dugaan korupsi dana Infrastruktur Kesehatan di RSUD Kardinah Tegal. Sebelumnya, Walikota Tegal Ikmal Jaya juga ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka korupsi pada 2014.
Ada beberapa nama kepala daerah di Jawa Tengah yang pernah terlibat kasus korupsi dan berurusan dengan KPK di antaranya Bupati Kendal Hendy Boedoro (ditetapkan sebagai tersangka pada 2006), Bupati Brebes Indra Kusuma (ditetapkan sebagai tersangka pada 2009), dan Walikota Semarang Soemarmo (ditangkap KPK pada 2012).
Lalu, Bupati Klaten Sri Hartini ditangkap KPK pada 2016, sebelum akhirnya Wali Kota Tegal Siti Masitha ditangkap KPK dalam OTT di rumah dinasnya pada 26 Agustus 2017 kemarin. Berdasarkan data dari KPK pada akhir 2016, setidaknya ada sebanyak 361 kepala daerah di Indonesia yang terlibat kasus korupsi.
Sedangkan, menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 343 bupati/walikota dan 18 gubernur tersandung korupsi. Data itu menunjukkan bahwa korupsi yang dilakukan kepala daerah semakin meningkat. Karena itu, KPK harus memberi perhatian khusus terhadap kepala daerah sebagai penyelenggara negara.
Pemisahan Keuangan
Sejarawan Ongkhoham mengatakan bahwa korupsi mulai dikenal sebagai suatu penyimpangan ketika birokrasi atau suatu sistem melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Dalam konsep kekuasaan tradisional tidak dikenal model pemisahan keuangan tersebut.
Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Prinsip ini muncul di Barat setelah adanya Revolusi Prancis dan di negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak korupsi.
Dalam konteks Indonesia, setidaknya ada tiga faktor penyebab makin merajalelanya korupsi hingga ke level penyelenggara negara di daerah. Pertama, manusia di era modern ini telah kehilangan intelektualisme dan daya nalar kritis-filosofis dalam membedakan mana kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Mereka juga tidak bisa membedakan tanggung jawab sosial dan peran individu sebagai penguasa.
Kedua, modernisasi juga menciptakan terjadinya korupsi, karena ia menciptakan sumber kekayaan dan kekuasaan baru. Korupsi dalam konteks ini adalah pada ekses peningkatan peran politik kelompok baru yang sarat dengan sumber-sumber korupsi serta upaya asimilasi kelompok baru ke dalam sistem politik dengan cara-cara yang menyimpang.
Di Afrika, korupsi dilakukan secara bersamaan oleh penyelenggara negara, pemegang kekuasaan dan pejabat pengawasan sumber-sumber devisa negara, yang memungkinkan mereka berkolaborasi secara menyolok melakukan penyelewengan kekuasaan di awal proses modernisasi.
Para jutawan baru di negara-negara Eropa berusaha menyuap para penguasa untuk diberi kesempatan menduduki posisi sebagai anggota senat atau parlemen, dengan menjelmakan diri sebagai aktor yang terkait ketat yang merupakan sistem politik yang cenderung korup.
Masuknya salah satu partai politik di Indonesia dalam struktur birokrasi pemerintahan menambah “pembusukan” dan kehancuran bangsa. Korupsi telah berjalin kelindan dalam setiap sistem pelembagaan partai politik. Dengan begitu, peluang terbuka lebar sekali untuk melakukan akses tindak korupsi.
Dalam masyarakat yang demikian, politik telah menjelma menjadi “berhala” sarana ampuh untuk memupuk kekayaan dan harta, di mana semua ambisi dan talenta yang tak mungkin bisa diperoleh usahawan lewat jalur bisnis dapat dengan mudah dikumpulkan lewat aktivisme politik.
Ketiga, modernisasi telah mengubah sistem hukum. Peragaman hukum memperbesar kemungkinan korupsi. Perlu disadari bahwa hukum akan hancur berantakan bila tidak dibarengi dengan pengawasan efektif dan sejumlah kepentingan terbuka bagi segelintir orang. Lebih parahnya, jika para hakim tidak memiliki integritas kejujuran dan keberanian tinggi dalam menegakkan hukum tindak pidana korupsi yang melibatkan elite pejabat pemerintahan.
Kegagalan Sistem
Sumber penyakit korupsi dalam birokrasi pada dasarnya dapat diidentifikasi dari dual hal. Secara internal dan eksternal. Secara internal berasal dari kelemahan dan kegagalan sistem yang ada di birokrasi sendiri.
Secara internal timbulnya perilaku korupsi dalam birokrasi juga disebabkan lemahnya sistem pengawasan internal. Sistem pengawasan atasan-bawahan praktis tidak mungkin terjadi dalam sistem yang korup secara bersama-sama.
Secara eksternal, penyakit korupsi dalam birokrasi dapat disebabkan karena relasi antarberbagai sistem yang terkait, misalnya kooptasi dan intervensi politik. Dalam banyak kasus di daerah maupun pusat, tekanan politik menjadi salah satu sumber penyebab praktik korupsi dalam sistem birokrasi.
Peluang pejabat politik yang besar untuk mengatur dan mengambil alih birokrasi ditengarai menjadi sumber betapa sistemik dan berjejaringnya praktik korupsi di Indonesia, dengan lebih mengedepankan pada pendekatan patrimonial. Melalui relasi ini para birokrat, pejabat negara, pegawai pemerintah, kaum pengusaha atau swasta dan aparat penegak hukum bertemu membentuk jejaring korupsi yang memberi untung bagi mereka dalam sebuah hubungan patron dan klien.
Karena itu, kita hanya bisa berharap pada Ketua KPK Agus Raharjo memberantas pejabat penyelenggara negara di seluruh Provinsi Jawa Tengah yang melakukan tindakan korupsi uang negara secara komprehensif untuk ditangkap dan diberantas secara tuntas. Dengan begitu, kerugian uang rakyat bisa diminimalisirkan sehingga dapat digunakan untuk kepentingan rakyat. (Admin)
Sumber : https://news.detik.com