Purwokerto (NetKepri) – Tekad yang kuat untuk bisa masuk dalam Guinnes Book of Record pengumpul tanda tangan terbanyak di dunia dilakukan oleh Ismail (48), warga Desa Cangko, Kecamatan Bangodua, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Dia berkeliling nusantara selama 28 tahun menggunakan sepeda sejak tahun 1989.
Pria kelahiran 5 Mei 1969 ini merupakan anak ke tiga dari lima bersaudara dan memulai perjalannya di umur 20 tahun. Meskipun sempat dilarang oleh kelurganya, namun dengan tekad kuat, Ismail memulai perjalanannya menuju Bali sebagai titik nol keberangkatannya pada 20 Juni 1989.
“Saya memulai perjalanan dari Bali, titik nolnya di Bali, karena Bali merupakan tempat yang mendunia dan saya ingin mendunia dengan bersepeda keliling Indonesia, mulai dari Bali sampai finish di Bali lagi,” kata Ismail kepada wartawan saat tiba di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah.
Dari Bali, Ismail memulai perjalanannya menuju timur melalui NTB, NTT, Timor Timur, Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Aceh, Medan, Riau, Bangka Belitung, Lampung, Banten dan Jawa. Selama perjalanannya itu ia sudah menghabiskan 33 sepeda.
Dalam perjalanan keliling Indonesia itu, banyak hal yang ditemuinya. Satu pengalaman yang tidak bisa dilupakannya yakni saat dirinya menginjakkan kaki di Timor Leste pada tahun 1989 yang saat itu masih bernama Timor Timur. Dia sempat disandera oleh kelompok Fretelin karena dianggap sebagai mata-mata.
“Mungkin saya dikira mata-mata dari Indonesia. Sama mereka langsung disekap. Bahkan saya juga harus mengalami siksaan mulai dari pukulan, tendangan serta berbagai jenis siksaan lainnya, karena tidak terbukti, saya dilepaskan,” ungkap Ismail.
Selain sempat disandera oleh kelompok sparatis, Ismail juga berkisah ketika dirinya harus mengalami hukum adat oleh suku Dani di Papua. Saat itu dia tanpa sengaja menabrak seekor babi yang merupakan hewan paling dihormati oleh suku tersebut.
Hukum pun ditegakkan, Ismail diancam hukuman tiga bulan direndam dalam air. Setelah bernegosiasi, hukuman Ismail pun diringankan dengan syarat harus mengganti rugi 10 ekor babi dan menjalani hukuman dengan direndam air selama tiga hari tiga malam.
“Akibat berendam tiga hari-tiga malam, saya pun terkena malaria, hingga saya menetap di Papua sampai delapan bulan. Suku Dani sudah seperti saudara sendiri, saya makan sagu dan mengenakan koteka seperti mereka,” ucapnya.
Dari Papua, dia menuju Sulawesi dan Kalimantan. Namun saat dalam pejalanan menggunakan kapal laut dari Morotai menuju Halmahera, kapal perintis yang ditumpanginya mengalami kecelakaan setelah menabrak batu karang. Kapal terbelah menjadi dua menyebabkan sekitar 70 orang penumpang tenggelam di laut termasuk dirinya.
Dia tidak ingat apa-apa, hingga akhirnya dia tersadar sudah berada di tepi pantai sebuah pulau tanpa penghuni bersama seorang penumpang lain. Kepalanya terluka akibat terbentur jangkar kapal. Di pulau tersebut dirinya bertahan selama dua bulan hingga bantuan datang menjemput mereka.
“Saya terdampar di pulau Key-Key, pulau itu tidak berpenghuni, saya selamat bersama seorang mualim. Sepeda dan buku hasil tanda tangan selama separuh perjalan ikut tenggalam. Saya bertahan hingga bantuan datang, mungkin saat ini namanya tim SAR,” ucapnya.
Setelah di evakuasi, dirinya bertemu dengan Bupati Maluku Tenggara hingga akhirnya Ismail diberikan sepeda untuk melanjutkan perjalan mengelilingi Nusantara.
Sekitar tahun 2003, Ismail memasuki Aceh, lagi-lagi dirinya sempat dihadang oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah melihat dirinya bersepeda dengan membawa bendera merah putih. Sepeda diinjak-injak anggota GAM hingga rusak. Dirinya juga dipertemukan oleh panglima GAM Sofyan Daud yang akhirnya percaya dan mengijinkan melanjutkan perjalan.
“Sebagai permintaan maafnya, saya diberikan sepeda oleh panglima GAM Sofyan Daud, ini sepeda yang ke 33,” ujarnya.
Selama tiga tahun, sejak tahun 2003 hingga 2006 Ismail berada di Aceh. Bahkan dia mengaku jika empat jam sebelum terjadi gempa dan tsunami Aceh dirinya tengah berada di tepi pantai.
“Empat jam sebelum ada gempa saya masih di pinggir pantai, setelah itu diajak oleh komunitas vespa ke daerah perbukitan, tidak lama ada gempa lalu terjadi tsunami,” ucapnya.
Di tahun 2006 dirinya melanjuttkan perjalanan menuju Medan, Riau dan Bangka Belitung. Dirinya juga sempat bertemu dengan Ahok yang kala itu masih menjabat sebagai Bupati Bangka Belitung di tahun 2008. Dirinya mengaku sangat terkesan dengan Ahok yang memberikan beberapa pertanyaan hingga memberikan dia sebuah hadiah yang tidak ternilai harganya.
“Awalnya saya dikasih pertanyaan yang sangat pribadi banget. Menurut Pak Ahok kalau orang-orang pada mencari cita-cita yang mudah, kenapa kamu ambil yang susah-susah. Karena itu dia jadi simpati, terus kasih hadiah cuma-cuma,” jelasnya.
Selain pertanyaan tersebut, ternyata Ahok juga menanyakan kepada Ismail terkait makna perjalanan keliling Indonesia bagi masa depan anak dan cucu Ismail kelak.
“Ada pertanyaan yang sangat pribadi, kayak gini, nanti kalau kamu sudah selesai keliling Indonesia ada gak masa depan untuk anak cucu kamu. Saya jawab apa adanya,” ujarnya.
Setelah itu, Ismail kemudian kembali bertemu Ahok saat membawa sepedanya di Jakarta. Namun sayang, ketika moment kedua bertemu, Ahok tengah mengalami masalah dengan kasus yang dialaminya, sehingga terlihat sedikit berbeda dibanding saat pertama kali dirinya bertemu dengan Ahok semasa menjabat sebagai Bupati.
“Ketemu pertama masih Bupati Belitung, dulu masih bisa ketawa-tawa dengan saya, yang kedua tidak. Tapi bagi saya bertemu dengan tokoh yang luar biasa,” katanya.
Meski Ismail pernah dilarang oleh orang tuanya saat berkeliling Indonesia menggunakan sepeda. Namun dia selalu berkirim kabar kepada orang tuanya baik menggunakan telepon di wartel saat itu hingga mengirimkan surat bersamaan buku hasil tanda tangan yang didapatnya. Semua itu dikirimkan dan dikumpulkan di rumahnya.
“Buku sudah dikirim, jadi kalau penuh saya kirim ke rumah,” ujarnya.
Menurutnya dari Jakarta kemudian menyempatkan kembali ke Indramayusebelum melanjutkan ke titik nol di Bali. Saat kembali ke rumah, ibunya pingsan dan tidak henti-hentinya memeluk Ismail.
“Dulu berhubungan pakai wartel kalau ada telepon, kalau di pedalaman susah, tapi saya sering kirim kabar. Pas saya pulang, orangtua di Indramayu, ibu sampai pingsan melihat saya,” tuturnya.
Target Ismail untuk mendapatkan Guinnes Book of Record bukan lah jarak yang ditempuh, melainkan jumlah koleksi tanda tangan terbanyak dari pemimpin daerah, pejabat. Saat ini Ismail sudah mengumpulkan sekitar 3,9 juta tanda tangan dari buku yang ke 154.
“Yang saya cari bukan jarak, rekor yang saya ingin raih. Saya ingin menjadi seorang pengoleksi tanda tangan terbanyak, ini sudah sekitar 3,9 jutaan dari buku yang ke 154. Tapi 3,9 jutaan itu di Medan, Medan kes ini belum saya hitung, termasuk yang hilang di laut karena ada yang hilang sewaktu saya tenggelam,” katanya.
Ismail menargetkan dapat tiba kembali di Bali sekitar November 2018. Setelah itu, dirinya berencana akan ke Aceh untuk menikahi wanita asal Aceh yang dikenalnya sejak tahun 2002. (Admin)
Sumber : https://news.detik.com