(NetKepri) – Setiap gelaran pemilu lima tahun sekali selalu jadi ajang kemunculan partai politik kecil. Parpol baru ini tentu saja bukan untuk meriahkan gambar di kertas suara, tetapi ingin menangguk suara besar supaya bisa mendudukkan para kader di kursi parlemen. Problemnya, dalam politik elite di Indonesia sejauh ini, ketika kehadiran mereka tidak disertai pendidikan politik yang serius, ia cuma menjadi kepanjangan tangan dari politik rente yang gilirannya menyuburkan praktik korupsi.
Tetapi keterbukaan politik ini tentu menggambarkan Indonesia sebagai negara demokrasi yang dinamis pasca-Soeharto, yang sebelumnya dibungkam dan warga disetel sebagai massa mengambang. Betapapun ia belum diimbangi dengan kualitas demokrasi yang baik. Politik uang, patronase, dan naiknya pengusaha sebagai politikus, serta partai politik diperlakukan sebagai warisan dinasti membuat partisipasi warga melemah dalam proses politik lima tahunan.
Gun Gun Heryanto, dosen komunikasi politik dari Universitas Islam Negeri Jakarta, mengatakan kebanyakan parpol tak sanggup terjun di medan pemilu, mati sebelum berlayar, karena basis konstituennya lemah. Menurutnya banyak corak partai di sini terkonsentrasi pada figur—pendiri partai sekaligus pemiliknya, thus punya legitimasi sebagai pemilik turunan. Ia menilai, kemunculan parpol baru mesti berani pula menentang arus parpol selama ini dengan mendemokrasikan para kadernya punya hak sama pencalonan di pemilu berdasarkan kapasitas dan kualitas.
“Perindo hari ini adalah Perindo yang sangat identik dengan Hary Tanoesoedibjo. Seharusnya penguatan institusi partai adalah penguatan basis, jaringan pengurus sampai ke daerah. Ini penting untuk membangun infrastruktur partai politik. Itu yang dilakukan Partai Nasdem dulu,” kata Heryanto.
Heryanto juga mendukung penambahan parliamentary threshold dan presidential threshold. Alasannya, hanya partai politik yang lolos angka ambang batas perolehan suara minimal yang berhak dibiayai oleh negara. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu sedang dibahas di DPR untuk direvisi guna menjadi dasar hukum Pemilu 2019. Salah satu pembahasan pokok para politikus Senayan adalah mengatur ulang mekanisme pencalonan presiden dan wakil presiden.
Heryanto juga menilai setiap parpol mesti transparan dalam melaporkan arus kas pendanaan ke publik. “Jadi partai itu milik publik, bukan milik investor seperti perusahaan. Soal sumbangan-sumbangan dan mekanisme sumbangan dan pelaporan, semakin transparan partai politik membuka pendanaan partai, menurut saya, semakin mendapatkan respek dan apresiasi banyak orang,” tuturnya.
Berikut wawancara Gun Gun Heryanto dengan Dieqy Hasbi Widhana dari Tirto, 24 Januari 2017.
Mengapa perlu banyak parpol padahal partai-partai baru ini tidak familiar?
Dalam konteks demokrasi, kecil-besar perserikatan yang mengikat dalam organisasi partai politik tetap harus dihormati. Itu hak konstitusional yang dilindungi undang-undang ketika mereka berkumpul, berserikat, mengikatkan diri dalam institusi partai politik. Ya itu sah-sah saja.
Proses kelembagaan mereka itu akan diuji oleh sejarah. Seberapa serius mereka menyiapkan diri, membangun infrastruktur partai, dan terlibat dalam kerja-kerja di publik? Sehingga kemudian mereka dapat positioning di pemilu.
Tradisi yang buruk dalam kelembagaan politik di Indonesia telah diuji dalam sejarah dan mereka tidak punya basis konstituen yang kuat. Tetapi mereka tetap tidak mau melakukan proses transformasi kelembagaan.
Ada 3 agenda partai politik yang menurut saya penting ketika bicara mengenai parpol dengan suara yang sangat kecil di pemilu. Pertama, mereka harusnya memang punya semacam keinginan kuat untuk melakukan proses agregasi. Proses ini terjadi di beberapa negara demokrasi misalnya di Amerika Serikat. Tidak mesti selalu ikut pemilu. Jadi, mereka bisa berkonfederasi dengan partai besar selama bisa mengakomodir ideologi atau program-programnya. Platform mereka ketemu dengan salah satu Partai Republik atau Demokrat. Sehingga mengukur diri tidak maju di elektoral, melainkan mengadvokasi isu-isu tertentu yang menjadi isu perhatiannya.
Tapi itu rasanya masih sulit mentradisi di sini; bahwa kita mau dan mampu berkonfederasi. Itu pun aturan di perundang-undangan kita, konfederasi belum mendapatkan tempat.
Kedua, tentu kita mengenal istilah fusi—penggabungan parpol. Fusi ini juga sangat mungkin dipakai, tapi kita dulu sempat mengenal sejarah kelam fusi, dipaksakan oleh negara, tidak alamiah. Fusi tahun 1970-an adalah bagian dari sentralisme kekuasaan ala Soeharto. Disebut politik pembonsaian atau korporatisme politik.
Tapi fusi sebenarnya bisa ditempuh sekarang, lewat satu mekanisme jauh lebih alamiah melalui konsensus politik, bukan dipaksakan oleh pemerintah. Nah, problem susahnya adalah melebur ego. Masing-masing partai yang merasa sudah didirikan atau nama besar sosok alias figurnya—misalnya Rhoma Irama—mau enggak berfusi? Atau misalnya, Bang Yos (Sutiyoso) mau berfusi enggak?
Ketiga, bisa melalui mekanisme yang sudah ada dan dimasukkan dalam UU Pemilu, yakni kenaikan soal angka parliamentary threshold. Ini sebenarnya mekanisme penyederhanaan partai.
Pemerintah menawarkan parliamentary threshold 3,5 persen. Sedangkan ambang batas pencapresan diusulkan 20 persen dari jumlah kursi di DPR dan atau 25 persen dari jumlah perolehan suara dalam pemilu legislatif sebelumnya. Seberapa berpengaruh bagi partai-partai kecil?
Logikanya mirip anak SMA mau masuk kuliah. Semua orang punya hak yang sama untuk mengambil formulir. Tetapi ujiannya, apakah seseorang itu ada di perguruan tinggi negeri atau tidak? Ada ukuran kualitas. Artinya, tidak semua orang bisa masuk ke perguruan tinggi negeri.
Yang disebutkan dalam parliamentary threshold itu semacam standar untuk meningkatkan kualitas, kapasitas kelembagaan dari partai politik. Misalnya kemarin, Pemilu 2014, angka parliamentary threshold atau ambang batas suara partai untuk berada di DPR itu 3,5 persen. Saya setuju ketika itu naik, dari 2,5 persen dari Pemilu di 2009. Harusnya secara gradual, 2019 itu bisa naik lagi di angka 5 sampai 7 persen.
Jadi peningkatan gradual ini adalah upaya menyederhanakan partai politik. Kenapa? Karena logikanya, pencalonan presiden bertemu dengan kekuatan politik yang terlalu banyak tidak memperkuat sistem presidensialisme. Singkatnya, partai yang kemudian bertarung harus memperoleh grade 7,5 persen atau misalnya 10 persen, sehingga dia bisa duduk di DPR mewakili konstituen, mewakili rakyat.
Apa itu justru membatasi iklim demokrasi, menyisihkan keterlibatan partai-partai kecil dan baru di luar yang sekama ini mendominasi?
Hubungannya dengan demokrasi, kan, mereka diperkenankan untuk berkumpul, berserikat. Jadi, eksistensi partainya, kan, tidak dibunuh. Eksistensi partainya tidak dilarang. Mereka berhak mendirikan partai politik dan beraktivitas dalam partai politik. Tapi kemudian ada ujian kesejarahan berbentuk elektoral yang harus mereka lewati. Kalau ambang batasnya diperoleh, ya mereka menjadi bagian sejarah pemenang.
Artinya, mereka tetap bisa berpartai, kan? Hanya ada mekanisme yang disederhanakan ketika mereka mau duduk di DPR. Sehingga nanti posisi partai politik di DPR tidak begitu banyak seperti sekarang. Misalnya sekarang ini, kan, 10 (fraksi perwakilan dari partai politik di DPR). Kalau dinaikkan menjadi 7 atau taruhlah 10 persen, misalnya, bisa jadi 5 (fraksi) kan? Lima partai menurut saya akan menjadi lebih memperkuat presidensialisme. Karena presiden yang terpilih tidak lagi selalu terjebak dalam persoalan yang sama, yakni membangun koalisi antar-parpol untuk mengamankan agenda stabilitas politik guna menunjang kinerja pemerintahan.
Selama ini hanya partai politik yang mampu mengalokasikan kader di legislatif tingkat daerah sampai pusat dan eksekutif yang berhak mendapat dana dari pemerintah. Bagaimana nasib partai kecil jika ambang batas dinaikkan?
Ya menurut saya, yang mendapatkan dana sementara yang memang lolos parliamentary threshold. Itu sama seperti ketika kita memaknai prisip keadilan, kan, tidak mesti semua sama. Keadilan itu tentu ada pembagian dan ada penjatahan. Kalau semua partai yang berdiri, meski tidak jelas eksistensinya, diberi dana, tentu kita tidak akan punya kemampuan untuk itu. Menurut saya, partai yang mesti dikasih duit negara adalah partai-partai yang lolos uji kesejarahannya.
Soal pendanaan partai politik, apa yang harus dilakukan parpol agar bisa mandiri biar tidak condong ke para donatur daripada konstituen sendiri?
Ya memang aturan soal pendanaan partai ini tidak terlalu menarik di undang-undang partai politik. Jadi harus membuat posisi pendanaan partai politik jauh lebih clear di undang-undang partai politik. Sehingga kemudian tidak terjebak pada investor.
Jadi partai itu milik publik, bukan milik investor seperti perusahaan. Soal sumbangan-sumbangan dan mekanisme sumbangan dan pelaporan, semakin transparan partai politik membuka pendanaan partainya, menurut saya, semakin mendapatkan respek dan apresiasi banyak orang. Ketika ada sumbangan, baik perseorangan maupun kelembagaan, ke sebuah institusi termasuk partai politik, maka di situ ada kewajiban akses informasi atau akses keterbukaan informasi publik. Jadi transparansi menjadi kata kunci dalam kepengaturan institusi partai-partai modern.
Apa pendapat Anda soal partai politik yang tidak lolos dari verifikasi Kemenkum HAM, lantas mengakuisisi atau melebur dengan partai lama?
Ya, jalan pintas, jelas jalan pintas, lah. Yang paling bagus sih memang partai didirikan, didaftarkan, kemudian menyiapkan infrastruktur, dan lolos.
Sudah ada partai baru, seperti PSI, Perindo, Berkarya, dan Idaman, yang lolos Kemenkum HAM. Mereka sedang menyiapkan diri agar lolos verifikasi dari KPU. Sebaiknya strategi apa untuk mendekati pemilih?
Partai itu selain urusan branding, juga penting untuk melakukan positioning yang lebih tepat. Seperti misalnya PSI. Itu saya lihat memposisikan partai anak muda, millennial’s party. Itu lumayan memompa semangat anak-anak muda.
Tetapi Partai Idaman, positioning-nya untuk apa dan ke siapa? Dia harus memetakan, meletakkan dirinya di tengah arus besar eksistensi partai politik yang sudah lama.
PSI itu saya enggak heran, kenapa pendekatan branding dan positioning-nya jelas, kepada anak muda. Adaptif terhadap digital dan itu kuat, termasuk sebagai partai terbuka, banyak membicarakan isu-isu toleransi, keberagaman. Itu menurut saya menjadi lebih hidup dalam persepsi anak-anak muda.
Perindo, saya lihat banyak intens melakukan publisitas lewat media mainstream. Perindo hari ini adalah Perindo yang sangat identik dengan Hary Tanoesoedibjo. Seharusnya penguatan institusi partai adalah penguatan basis, jaringan pengurus sampai ke daerah. Ini penting untuk membangun infrastruktur partai politik. Itu yang dilakukan Partai Nasdem dulu. Jadi Nasdem itu, kan, termasuk waktu kolaborasi Hary Tanoe dan Surya Paloh, membangun infrastruktur partai hingga ke bawah. Ketika pemilu punya kesiapan untuk berkontestasi.
Tetapi untuk semua partai ini, partai-partai yang relatif kita sebut partai kecil sekarang karena mereka baru berdiri, harus melewati tiga fase. Pertama, fase strategi komunikasi yang tepat. Misalnya menyangkut branding mereka, positioning mereka, segmentasi mereka.
Kedua, komunikasi politik lintas institusional. Namanya partai politik tidak cukup di pusat, tapi di daerah. Maka ada kepentingan membangun yang disebut komunikasi organisasi hingga ke level bawah. Upaya membangun tradisi kualitas komunikasi melalui kegiatan organisasi. Apa yang menjadi target mereka secara politis? Kemudian penting juga partai sebagai komunitas politik.
Ketiga, taat pada struktur partai. Semua organisasi itu harus tunduk, taat pada aturan organisasi. Dia biasanya menghendaki satu mekanisme, peraturan organisasi yang kuat. Sehingga bukan orang atau individu yang lebih kuat, tetapi sistem organisasinya.
Partai yang sudah ada memang sangat bergantung pada figur. Seperti misalnya Prabowo Subianto dengan Gerindra, PDIP dengan Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dengan Demokrat.
Partai-partai yang baru juga kecenderungannya sama, nih. Hary Tanoesoedibjo, Rhoma Irama. Kecuali PSI mungkin karena muda-muda, tidak bergantung pada figur. Tapi untuk posisi partai-partai kecil atau partai-partai yang baru merangkak menjadi peserta, itu memang bagusnya menguatkan AD-ART dan seluruh mekanisme tata-tertib aturan berorganisasi. (Admin)
Sumber : https://tirto.id