Jakarta (NetKepri) – Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan, saksi kunci dalam sebuah kasus besar pasti akan menghadapi ancaman sangat serius. Guna menangkal ancaman itu, saksi kunci dan keluarganya patut mendapatkan perlindungan maksimal.
“Karena itu, institusi yang memposisikan almarhum Johannes Marliem sebagai saksi kunci mega kasus korupsi proyek e-KTP layak bertanggung jawab atas kematiannya,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Minggu (13/8).
Saksi kunci kasus dugaan korupsi e-KTP, Johannes Marliem meninggal di Amerika Serikat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mengetahui alasan meningggalnya Johannes.
Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo, menjelaskan ketika penyidik sebuah kasus besar memposisikan seseorang sebagai saksi kunci kasus tersebut, pada saat itu pula para penyidik menempatkan orang itu dalam ancaman yang sangat serius, termasuk ancaman pembunuhan.
“Kehidupan seorang saksi kunci dan keluarganya tidak nyaman lagi karena terus dibayangi rasa takut. Apalagi jika nama dan profil saksi kunci itu sudah mendapatkan publikasi yang luas,” katanya mengungkapkan.
Kematian Johanes Marliem, menurut dia, memunculkan sejumlah pertanyaan. Ia pun mempertanyakan, dengan statusnya sebagai saksi kunci, apakah Johannes dan keluarganya sudah mendapatkan perlindungan maksimal? Lalu, siapa yang mengambil inisiatif mempublikasikan nama dan profil almarhum sebagai saksi kunci kasus e-KTP?
“Seorang saksi, apalagi saksi kunci, berhak mendapatkan perlindungan maksimal atau jaminan keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman terkait dengan kesaksian yang akan atau sudah diberikan,” katanya menjelaskan.
Saksi Kunci
Kewajiban tentang perlindungan saksi ini tertuang dalam UU UU No. 31/2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13/2006 Mengenai Perlindungan Saksi dan Korban. Bambang mengungkapkan, tidak melindungi saksi kunci layak dituduh melanggar undang-undang.
Sedangkan tindakan mempublikasikan nama dan profil seorang saksi kunci adalah perilaku tidak profesional yang tidak bisa ditolerir. Sebab, hal itu sama saja dengan menempatkan saksi kunci dalam ancaman yang sangat serius.
“Karena itu, harus ada pihak yang bertanggung jawab atas kematian Johanes, karena almarhum diketahui berstatus sebagai saksi kunci mega kasus korupsi e-KTP,” ujarnya.
Ia mengaku, Johannes memang disebut dalam surat tuntutan jaksa KPK terhadap terdakwa Irman dan Sugiharto, yakni sebagai penyedia Automated Finger Print Identification System (AFIS) merek L-1. Dari Johannes pula penyidik KPK banyak mendapatkan bukti rekaman serta aliran uang e-KTP.
“Kalau KPK memposisikan almarhum sebagai saksi kunci, KPK harus memberi perlindungan maksimal kepada almarhum dan keluarganya. Akan tetapi, tindakan mempublikasikan nama dan profil almarhum tetap saja tidak dapat ditolerir,” katanya menegaskan.
Sebelumnya juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah membenarkan kabar meninggalnya salah satu saksi kasus korupsi proyek e-KTP Johannes Marliem. Namun Febri mengaku belum tahu alasan meninggalnya Johannes.
“Informasi benar Johannes Marliem meninggal dunia. Tapi kami belum dapat informasi rinci karena peristiwanya terjadi di Amerika,” ujar Febri di gedung KPK, Jakarta, Jumat (11/8).
Febri mengatakan, kasus kematian Johannes sepenuhnya menjadi otoritas penegak hukum setempat. Ia pun enggan berandai-andai apakah kematian Johannes terkait dengan penyidikan kasus korupsi e-KTP. Febri menegaskan, penyidikan kasus korupsi e-KTP akan tetap berjalan.
“Kami punya bukti kuat dan penyidikan akan tetap berjalan,” katanya.
Peran Johannes
Dari informasi dihimpun CNNIndonesia.com, nama Johannes muncul dalam kasus ini tak lama setelah KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.
Sedikitnya 25 kali nama Johannes disebut Jaksa dalam persidangan kasus ini. Johannes disebut sudah aktif sejak awal dalam pertemuan dan pembahasan proyek yang merugikan negara Rp2,3 triliun itu.
Johannes merupakan Direktur Biomorf Lone LLC, Amerika Serikat. Perusahaan ini bergerak sebagai penyedia layanan teknologi biometrik.
Johannes juga disebut sebagai pemasok alat pengenal sidik jari atau automated fingerprint identification system (AFIS) ke konsorsium penggarap proyek e-KTP.
Dari tangan Johannes, KPK banyak mendapatkan bukti dan rekaman aliran uang proyek e-KTP ke anggota DPR dan pejabat Kemendagri.
Lihat juga:Sidang Andi Narogong dan Kematian Johannes Marliem di Amerika
Pada 2011 silam, Johannes bahkan pernah memberi uang kepada Sugiharto sebesar US$20 ribu. Uang yang diberikan melalui pegawai Kemendagri itu untuk menyewa seorang pengacara kondang. Kemudian pada Maret 2012, Johannes menyaksikan Andi Agustinus alias Andi Narogong menyerahkan US$ 200 ribu kepada Diah Anggraini.
Ketika proyek ini mulai bermasalah dan terbongkar oleh KPK, Johannes kemudian meninggalkan Indonesia. Sejak itu, ia tak pernah kembali ke Indonesia dan memilih menetap di sejumlah negara seperti Singapura dan Amerika Serikat.
Sejauh ini, KPK telah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP ini.
Mereka di antaranya mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman, serta Direktur Data dan Informasi Kemendagri, Sugiharto. Keduanya sudah divonis penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor.
Selain mereka, KPK juga menetapkan tiga orang lainnya sebagai tersangka, yakni pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Ketua DPR Setya Novanto, dan anggota DPR dari Fraksi Golkar Markus Nari. (Admin).
Sumber : cnnindonesia.com